Di sebuah ruangan kantor yang gelap, seorang pria mengetik di komputernya. Tampaknya ia sudah berjam-jam atau bahkan berhari-hari berada di ruangan itu, terlihat dari banyaknya tumpukan cangkir kopi yang telah kosong di mejanya. Pria itu sepertinya sedang menulis sebuah laporan.
“Februari 1998. Korban terluka: 19 orang. Tewas: 24 orang.”
Pria itu menyimpan laporannya dalam sebuah floppy disc. Ia melabeli disket itu: Dokumen Rahasia 98. Disket itu dimasukkan dalam sebuah amplop coklat besar, lalu dimasukkan dalam brankas.
16 tahun kemudian, 2 Maret 2014
Seorang pria setengah baya mengendarai mobilnya di sebuah jalan tol yang sepi. Meski sepi, ia tak henti-hentinya melirik kaca spion seakan-akan ada yang sedang mengikutinya….atau mengejarnya. Wajahnya nampak tegang dan ia memegang kemudinya erat-erat. Ia terus memacu mobilnya dan tidak menghiraukan ponselnya yang berdering.
Di tempat lain, di sebuah café, nampak 2 orang pria sedang berbincang-bincang sambil minum soju.
“Sama seperti 16 tahun lalu, kau selalu meminta hal yang sulit,” ujar pria yang lebih tua.
“Karena kita teman lama,” sahut si pria yang lebih muda sambil tersenyum.
Pria di dalam mobil menelepon kantor sekretaris Blue House dan minta dihubungkan dengan Presiden. Ia menyebutkan namanya.
Kantor sekretaris mengatakan saat ini presiden tidak bisa dihubungi. Pria itu terlihat mulai panik sambil terus melihat kaca spionnya. Ia berkata bahwa ini situasi darurat dan penting.
Dari belakang muncul sebuah truk yang melaju sangat cepat. Lalu menabrak mobilnya dari belakang. Ia berusaha mengemudikan mobilnya agar tetap stabil, namun tidak bisa menghindari truk itu. Truk itu terus menabrak mobilnya.
Sementara itu di café…
“Bolehkah aku juga meminta sesuatu? Jangan lakukan apapun. Apapun rencanamu, jangan lakukan itu,” ujar pria yang lebih tua. Nadanya menyatakan ia tidak bersedia dan tidak bisa dibantah.
Pria yang lebih muda menatapnya dengan tenang. Namun tampaknya perkataan pria lebih tua itu cukup berpengaruh karena tangannya jadi gemetar hingga ia tidak bisa menuangkan soju dengan benar.
“Dan juga, mari kita berhenti bertemu seperti ini di masa yang akan datang. Jika ada hal yang ingin kaukatakan, buatlah janji resmi untuk menemuiku. Di Blue House (istana Presiden Korsel).” Ternyata pria yang lebih tua adalah Mr. President sendiri. Presiden Lee Dong Hwi.
Begitu Presiden berbalik, semua agen yang duduk di café itu bangkit berdiri. Tidak ada pelanggan lain di sana. Pria yang lebih muda hanya diam dan tidak meninggalkan tempat duduknya. Pelan-pelan ia tersenyum. Ia adalah Kim Do Jin.
Presiden keluar dari kafe dan sesaat merenung menatap langit. Pengawalnya bertanya apakah Presiden memiliki tempat lain yang akan dituju. Tidak, jawab Presiden. Ia memerintahkan untuk pulang ke istana.
Mobil yang ditabrak truk akhirnya berguling jatuh dari jalan tol. Pengemudinya terluka parah.
2 Maret, pk 08.37
Han Tae Kyung berlari menyusuri rumah sakit. Pada perawat, ia menanyakan korban kecelakaan di Cheongdo yang terjadi pagi ini.
Ia menatap korban kecelakaan itu, yang terbaring di ruang isolasi rumah sakit. Korban kecelakaan itu adalah ayahnya.
Seorang petugas polisi menyerahkan barang-barang milik ayahnya yang ditemukan di tempat kecelakaan. Polisi itu berkata ayahnya diduga mengendarai dalam keadaan mengantuk.
“Ayah, Ayah berjuang untuk selamat, kan? Iya, kan?” gumam Tae Kyung pada ayahnya.
Ponselnya berbunyi. Ia melihat peneleponnya: Hwang Yoon Jae, tim 2. Tae Kyung tidak menjawab telepon tersebut. Ia terus menatap ayahnya.
Berita membahas kepemimpinan Presiden Lee selama 3 tahun ini. Awalnya 90% rakyat memilihnya karena ia berjanji menjadikan Korea bangsa yang lebih kuat dan rakyat akan lebih makmur. Dan sekarang pendukungnya menurun hanya menjadi 10%.
Diberitakan juga perusahaan yang dimiliki Presiden Lee Dong Hwi pada tahun 1998, saat ini tengah diselidiki Penuntut Khusus karena diduga melakukan manipulasi saham. Jika dugaan itu terbukti, administrasi Presiden Lee akan ditanyai mengenai etika kerja mereka.
Tapi penyelidikan itu tidak menghentikan Presiden untuk berusaha menarik dukungan dengan mengunjungi pasar. Walau saat ini sepertinya sulit untuk mengubah pikiran rakyat.
Di jalan sebuah pasar, terparkir sebuah bus besar dan panjang namun tertutup rapat. Bus itu seakan akan sebuah bus untuk promosi iklan, namun di dalamnya berderet para petugas agen rahasia yang sedang mempersiapkan kunjungan Presiden ke pasar tersebut hari ini. Mereka mengamati tayangan dari berbagai CCTV yang terpasang di sepanjang jalan yang akan dilalui Presiden di pasar tersebut.
Kepala agen rahasia kepresidenan Ham Boong Soo (selanjutnya kita sebut Chief Ham saja ya^^) mendengarkan laporan dari CP Moon Seong Min bahwa 7 hari lalu telah selesai dilakukan pemeriksaan keamanan pertama. Dan hari ini mereka akan memonitor terus menerus.
Sementara itu Kepala Departemen agen rahasia Kim Sang Hee (selanjutnya kita sebut Direktur Kim) melaporkan kalau Presiden akan meninggalkan Blue House 5 menit lagi.
Tae Kyung dimarahi seniornya, Hwang Yoon Jae, karena terlambat datang. Mereka adalah agen rahasia pengawal Presiden dan sebentar lagi mereka berangkat mengawal Presiden. Yoo Jae bertanya mengapa Tae Kyung terlambat. Tae Kyung meminta maaf namun tidak mengatakan alasannya. Ia segera berdiri di posisinya.
Tak lama kemudian Presiden keluar dari istana menuju mobilnya. Ia sempat mengamati Tae Kyung sejenak, lalu masuk ke dalam mobil. Para agen rahasia masuk ke mobil mereka dan mereka pun berangkat.
Chief Ham mendapat laporan bahwa Presiden (yang diberi kode VIP 1250) sudah berangkat dan akan tiba 30 menit lagi. CP Moon langsung memerintahkan para bawahannya untuk bergerak.
Para agen itu ada yang menyamar menjadi rakyat biasa dan membaur dengan pengunjung pasar yang lain. Jalan yang akan dilalui Presiden diamankan dari orang yang berlalu-lalang. Para penembak jitu siap siaga di atap-atap gedung sekitar, untuk mengawasi seandainya ada orang yang berniat mencelakai Presiden.
Jalanan diblokir untuk memberi jalan bagi iring-iringan Presiden. Presiden bertanya pada Sekretarisnya apakah ada telepon dari Han Ki Joon. Tidak ada, jawab sekretarisnya. Presiden nampak khawatir mendengar hal itu.
Tae Kyung mengamati ponselnya. Seniornya bertanya apakah terjadi sesuatu. Tidak ada, jawab Tae Kyung.
Presiden akan tiba 5 menit lagi. Chief Ham berbicara di microphone yang terhubung ke semua alat komunikasi agen rahasia di pasar itu.
“Seperti yang kalian ketahui, pasar adalah tempat termudah untuk mencelakakan Presiden. Jumlah orang di sana tidak bisa dihitung, dan kita tidak bisa menaruh pos pemeriksaan. Tidak mungkin mengecek adanya senjata atau bom. Kalian semua bersiagalah.”
Sepuluh detik lagi Presiden tiba. 10…. 9… 8…. 7… pada saat itulah Tae Kyung menerima sms dari rumah sakit bahwa ayahnya dalam kondisi kritis dan Tae Kyung diminta segera menghubungi rumah sakit.
4….. 3… Tae Kyung memasukkan ponselnya ke saku. 2… 1… Mereka tiba.
Rakyat berkerumun di mulut pasar. Begitu Presiden melangkah keluar dari mobil, mereka bersorak dan bertepuk tangan. Presiden membungkuk dan tersenyum.
Rakyat berebut hendak berjabat tangan dengan Presiden. Suasananya seperti para fans yang bertemu dengan tokoh idola mereka. Mereka berebut memberikan Presiden apa yang mereka miliki: buah-buahan, makanan dagangan mereka. Presiden menerima dan mencicipi semua pemberian rakyat.
Tae Kyung berjalan di depan Presiden. Ia memantau keadaan sekitar. Namun tidak bisa dipungkiri, getaran ponsel terus menerus di saku celananya membuatnya sulit untuk berkonsentrasi penuh. Ia bisa merasakan terjadi sesuatu yang buruk pada ayahnya.
Ia berhenti, sejenak mempertimbangkan untuk meraih ponselnya agar ia bisa mengetahui keadaan ayahnya. Suara di sekitarnya mendadak terdengar sayup-sayup. Di telinga Tae Kyung hanya terdengar suara getaran ponselnya. Ia bagai berada di tempat lain dan berdiri terpaku.
Pada saat itulah, seorang pria tua berpakaian lusuh diam-diam menyeruak kerumunan. Ia membawa sebuah tas tua berwarna hitam. Presiden baru saja membeli sebuah jaket dari seorang pedagang di sana.
Kemudian ada seseorang menaruh secarik kertas kecil ke tangan seseorang yang lain. Belum diketahui siapa kedua orang ini.
Tiba-tiba pria tua berpakaian lusuh itu melempar sesuatu. CP Moon langsung berseru ke wakie talkienya.
“Arah jam 11! Hentikan dia!”
Tae Kyung tersadar lalu menangkap pria tua itu. Sementara itu para agen rahasia lain langsung mengamankan Presiden. Mereka melindungi tubuh Presiden yang putih berlumuran tepung, dengan tubuh mereka dan dengan tameng.
Tae Kyung menanyakan Presiden. Begitu juga para kepala staf keamanan di dalam bus yang kehilangan jejak Presiden karena berada di luar jangkauan CCTV. Chief Ham memerintahkan agar agen rahasia pengawal Presiden melapor.
Akhirnya agen pengawal Presiden melapor kalau Presiden sedang diamankan dan sedang menuju mobil. Beberapa orang di sana sempat memotret dari belakang.
Pria tua yang melempar tepun ke Presiden ditangkap dan dibawa pergi. Tae Kyung terduduk lemas di jalan. Ia sadar itu adalah kelalaiannya. Ponselnya tergeletak tak jauh darinya.
Yoon Jae menghampirinya. Ia marah saat melihat Tae Kyung memegangi ponsel.
“Apa kau gila? Apa ini lebih penting?” tanyanya sambil merebut ponsel Tae Kyung. “Apa yang kaulakukan?!!!” bentaknya.
Tae Kyung diam tak bersuara.
Yoon Jae melihat ponsel Tae Kyung lalu terdiam. Di sana tertulis pesan: “Ayahmu baru saja meninggal dunia”.
Tae Kyung mengambil ponselnya dari tangan Yoon Jae lalu berjalan pergi.
Tentu saja peristiwa itu tidak akan berlalu begitu saja. Chief Ham memarahinya atas peristiwa itu.
“Jika tadi bukan tepung tapi sebuah bom, kita sudah kehilangan VIP (Presiden). Apa kau tahu artinya apa? Apapun alasannya!! Kau tidak boleh kehilangan targetmu.”
Kepala Sekretaris istana, Shin Kyung Jin (aku sebut aja Chief Shin), masuk ke dalam ruangan dan bertanya apakah Tae Kyung agen yang dimaksud.
“Benar. Ini semua adalah kesalahan saya,” kata Tae Kyung. “Saya siap menerima hukuman apapun.”
“Seluruh berita dipenuhi foto Presiden berlumuran tepung sedang melarikan diri. Aku bahkan tidak ingin membicarakan berita di internet. Apakah menghukummu akan membuat semua foto itu menghilang? Apakah semua yang terjadi hari ini akan hilang seakan tak pernah terjadi” tanya Chief Shin melotot.
Meski tadi ia memarahi Tae Kyung dengan keras, Chief Ham merasa Chief Shin berlebihan.
“Sudah cukup.”
“Apa kau melindunginya karena ia anggota keamanan Presiden?” tanya Chief Shin.
Chief Ham mengingatkan bahwa pihaknya sebagai petuugas keamanan Presiden dengan jelas tidak menyetujui acara hari ini.
“Acara di pasar itu berbahaya? Apa kau pikir kantor sekretaris merencanakan acara ini tanpa mengetahui hal itu? Bukankah sudah menjadi tugas kalian untuk menyingkirkan semua bahaya?” ujar Chief Shin, yang mengepalai kantor sekretaris. Ia berang karena merasa Chief Ham menyalahkannya.
Chief Ham berkata ia yang bertanggungjawab mengenai petugas keamanan Presiden. Jika Chief Shin memiliki masalah, maka bisa langsung bicara padanya.
“Kalau begitu, apa kau akan mengundurkan diri menggantikannya?” tanya Chief Shin.
Chief Ham terdiam. Ia lalu berkata bahwa Tae Kyung adalah putera dari Han Ki Joon, Kepala bidang Ekonomi (terjemahan lain menyebutkan ayah Tae Kyung adalah Menteri Ekonomi).
“Kami baru menerima telepon setengah jam yang lalu. Pagi ini Pak Han mengalami kecelakaan dan mengalami koma. Dan saat peristiwa di pasar, beliau meninggal dunia.”
Chief Shin tampaknya baru mengetahui hal itu. Sebelum ia sempat mengatakan apapun, Tae Kyung berkata pada Chief Ham bahwa peristiwa hari ini tetaplah kesalahannya.
“Seperti yang Pak Kepala katakan, apapun alasannya…. meski ayah saya meninggal dunia, sayalah yang sudah kehilangan target.”
Chief Ham menoleh pada Chief Shin dan berkata ia akan menghukum Tae Kyung sesuai aturan yang berlaku, jadi ia minta Chief Shin berhenti memarahi Tae Kyung. Chief Shin menatap Tae Kyung lalu menatap Chief Ham, kemudian pergi tanpa mengatakan apa-apa lagi,
Chief Ham menskors Tae Kyung dan menyuruhnya menyerakan tanda pengenal dan lencananya. Tae Kyung dengan patuh mencopot tanda pengenal dan lencananya, lalu menaruhnya di meja.
“Pergilah, sebagai putera tertua kau harus hadir di pemakaman,” kata Chief Ham.
“Saya akan pergi setelah melapor ke bagian Administrasi.”
“Sudahlah tidak apa-apa, cepat pergi (ke pemakaman),” ujar Chief Ham tak sabar.
“Tidak. Ini kesalahan saya, jadi saya harus bertanggungjawab penuh,” kata Tae Kyung keras kepala.
Chief Ham pastinya mengenal Tae Kyung dengan baik. Ia tidak mengatakan apa-apa lagi.
Tae Kyung duduk di halte menunggu bis kota. Ia tidak bisa menahan perasaannya lagi. Ia menangis tanpa suara. Menangisi ayahnya. Menangisi ketidakmampuannya mendampingi ayahnya hingga saat terakhir. Ia terus duduk di sana meski bis yang ditunggunya datang dan pergi.
Tiba-tiba seseorang berdiri di hadapannya. Tae Kyung mengangkat kepalanya. Orang itu adalah staf keamanan Presiden, dan di belakangnya berhenti mobil Presiden. Presiden membuka jendela mobilnya. Tae Kyung buru-buru bangkit berdiri dan membungkuk hormat.
Presiden mengangguk dan menyuruh Tae Kyung naik ke mobilnya.
Di mobil, Tae Kyung meminta maaf atas kejadian hari ini.
“Jadi seperti inilah menjadi Presiden, menerima permintaan maaf seorang putera yang tidak bisa mendampingi ayahnya menjelang kematiannya. Kau tidak bersalah. Orang yang benar-benar bersalah adalah orang lain,” kata Presiden.
Presiden mengantar Tae Kyung hingga ke rumah sakit. Anehnya, sebelum Tae Kyung pergi, Presiden bertanya apakah Tae Kyung sudah menerima barang-barang peninggalan ayahnya. Ia bertanya barang apa sajakah itu.
Ponsel, dompet, dan kunci mobil. Ia agak heran kenapa Presiden menanyakannya. Tapi Presiden tidak mengatakan apa-apa lagi.
Tae Kyung menerima ucapan bela sungkawa dari kerabat dan kolega ayahnya. Melihatnya sendirian di tempat duka itu, sepertinya Tae Kyung sudah tidak memiliki keluarga yang lain. Ia menatap foto ayahnya dengan sedih.
“Apa Anda anggota keluarga Han Ki Joon?” tanya seseorang. Wanita itu memperkenalkan diri sebagai petugas polisi Yoon Bo Won dari daerah Seojo.
Mereka berbicara di luar tempat duka. Bo Won mengatakan kecelakaan ayah Tae Kyung terjadi di Rute 17, persimpangan Cheongjo dan Seojori. Ia bertanya apakah Tae Kyung tahu kenapa ayahnya pergi ke sana. Tae Kyung tidak tahu.
Bo Won terus menanyainya. Apakah ada keluarga atau kenalan di sana? Apakah akhir-akhir ini ayahnya bersikap aneh? Terlihat gugup atau tidak tenang?
Rentetan pertanyaan itu membuat Tae Kyung kesal. Ia berkata ia sudah sebulan tidak bertemu ayahnya karena pekerjaan. Ia juga ingin tahu kenapa ayahnya berada di sana. Tampaknya kemarahan itu juga ditujukan pada dirinya sendiri yang sudah lama tidak berada di sisi ayahnya.
“Di departemen lalu lintas, kecelakaan ayahmu sudah diputuskan sebagai kecelakaan yang disebabkan mengantuk saat mengemudi,” ujar Bo Won.
“Maksudmu, bukan itu penyebabnya?” tanya Tae Kyung kaget.
“Di antara barang-barang yang ditemukan di tempat kecelakaan, apakah ada sebuah amplop putih? Sebesar ini,” Bo Won memperagakan dengan tangannya.
“Tidak ada. Hanya ada ponsel, dompet, dan kunci mobil. Tapi kenapa kau seperti ini?” tanya Tae Kyung curiga.
Bo Won hanya diam sejenak lalu bangkit berdiri.
“Maaf aku melakukan ini di masa berkabung. Terima kasih untuk kerjasamanya,” ujarnya buru-buru.
Tae Kyung menahannya. Ia bertanya ada apa dengan barang peninggalan ayahnya dan kenapa Bo Won datang. Bo Won menyerahkan kartu namanya. Ia meminta Tae Kyung menghubunginya jika sudah tahu alasan ayahnya datang ke Cheongjo tadi pagi. Lalu ia pergi.
[Bersambung ke Episode 2]
Terima kasih atas kunjungannya ^^